“ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…”.Q.S.al Maidah ayat 8.
Mengkaji keadaan dan peta sosial dan budaya suatu masyarakat adalah penting, karena ia akan menerangkan kepada kita tata cara, pandangan hidup, dan mengorganisir kehidupan sosialnya yang mempengaruhi pola, prilaku setiap anggotanya dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, seni budaya, adat istiadat, tata susila (akhlak), agama atau keyakinannya.
Sebagai agama, Islam mengajarkan semua bentuk perilaku di atas berdasarkan wahyu ilahi yang diejawantahkan Rasulullah SAW dalam kehidupannya dan menerapkannya pada seluruh sahabat-sahabat nya dan masyarakat muslim di Madinah, yang seterusnya dilaksanakan oleh para Khulafa’ Rasyidin. Tata cara dan pandangan hidup umat Islam yang menjunjung tinggi hak-hak hidup perorangan dan masyarakat, berlaku adil, dan menegakkan kebenaran ditunjukkan Rasulullah SAW berserta sahabat-sahabat sepeninggalnya beliau. Hal itu sebagaimana firman Allah pada ayat pembuka di atas.
Oleh al Maraghi, ayat di atas ditafsirkan sebagai suatu bentuk perintah Allah kepada setiap individu muslim untuk menegakkan kebenaran dan menjadikannya sebagai kebiasaan hidup yang disertai keikhlasan dalam melakukannya baik dalam hal yang sifatnya keagamaan maupun segala hal yang bersifat duniawi. Itulah sebabnya kemudian Allah SWT memberi gelar kepada sahabat-sahabat dan masyarakat muslim ketika itu sebagai khairu ummah (sebaik-baik umat), karena sikap dan perbiatan mereka yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
Salah satu sikap hidup yang berkeadilan itu ditunjukkan Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat adalah kesetiakawanan dan persaudaraan sesama muslim dan non muslim. Kesetiakawanan dan persaudaraan itu menjadi sangat penting dan dibutuhkan untuk membangun masyarakat Islam yang berdasarkan wahyu ilahi. Prinsip-prinsip kesetikawanan menjadi indikasi yang mencerminkan adanya persamaan dalam arti yang seluas-luasnya bagi konsep universalitas Islam.
Islam tidak pernah mentolerir pengikutnya yang bersikap sekterian, individualis, egois, isolatif, desintegratif dan sebagainya dengan konotasi negatif. Karena Islam mengajarkan pemeluknya untuk hidup berdampingan dengan seluruh manusia dan makhluk Allah lainnya di bumi ini dengan sikap saling tolong menolong, toleransi dan bersatu padu dalam ridha Allah, apalagi terhadap sesama orang-orang beriman.
Dalam surah al Hujarat ayat 10 dengan tegas Allah berfirman, bahwa orang-orang beriman itu adalah bersaudara satu sama lain, dan merupakan tugas pula bagi mereka untuk mendamaikan saudara-saudaranya yang berselisih (baik perselisihan paham, maupun perselisihan lainnya). Dalam ayat 11 dan 12 surah yang sama, Allah lebih mempertegas lagi dengan norma-norma akhlak yang mulia dengan menghindarkan diri dari memperolok-olok orang lain, atau memberi gelar yang buruk, serta memelihara diri dari buruk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain dan saling menggunjing (menggelar aib orang lain secara terbuka, sementara aib sendiri disembunyikan).
Lima deretan norma yang harus dihindari ini merupakan unsur utama bagi timbulnya perpecahan dan perseteruan umat. Bahkan kelimanya menjadi awal pemicu yang memporakporandakan kesatuan persatuan masyarakat yang pluralistis, yang dapat menghancurkan ikatan kebangsaan. Rasulullah SAW memberikan patron bagi eksistensi kebersamaan dan kesetiakawanan bagi umat dengan bersabda, bahwa sesama mulim itu sebagai suatu bangunan yang kokoh, dimana bagian bangunan yang satu menguatkan bangunan yang lainnya. Dan pada sabda beliau yang lain sebagaimana diriwayatkan imam Muslim, Nabi Muhammad SAW mengibaratkan umat Islam itu seperti suatu tubuh, yang bila satu tubuh sakit, maka tubuh lainnya ikut merasa sakit. Dari perawi yang sama dikatakan, bahwa seorang muslim itu saudara atas muslim lainnya, tidak boleh menganiaya, merendahkannya, atau membiarkannya dihina oleh orang lain. Bahkan haram antara sesama muslim darah (membunuh tanpa hak), hartanya (merampok, menipu, dan mengkorupsinya), dan kehormatannya (mencemarkan nama baik).
Sementara kesetiakawanan sosial Islam bagi masyarakat di luar Islam Rasulullah SAW menjelaskan dengan sabdanya, “ Man kana yukminu billahi wa al yaum al akhir falyuhsin ila jarihi/Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya ”. HR. Ibnu Majah.
Secara leksikal kata al jaar dalam kamus al Munjid diberi makna ‘orang yang menempati tempat tinggal berdekatan dengan orang lain’ (tetangga). Jamaknya ‘jiiraan, jiirah, sebagaimana al Qur’an juga menetapkan kata ‘wa al jaaridzil qurba, wa al jaaril junubi’ yang dimaknai sebagai tetangga (surah an Nisak ayat 36).
Al Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa tetangga bagaikan kerabat dekat, karena dekatnya tempat tinggal. Orang bisa lebih dekat kepada tetangganya ketimbang saudara seketurunannya. Agama Islam mengajarkan untuk berbuat, dan bergaul dengan baik bersama tetangga, walupun ia bukan seorang muslim. Al Maraghi dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah menjenguk anak tetangganya yang sedang sakit, padahal ia seorang Yahudi. Demikian juga yang ditunjukkan Ibnu Umar ketika ia menyembelih kambing, lalu berkata kepada sahayanya, ‘ Sudahkah engkau berikan hadiah (daging kambing) kepada tetangga kita yang beragama Yahudi? Sudahkah ? Karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “ Mazala Jibril yuushiini bi al jaari hatta dhzonantu annahu sayuwarritsuh” Jibril senantiasa berwasiat kepada ku tentang tetangga, hingga aku mengira dia (tetangga) menjadi ahli waris. HR. imam Ahmad.
Demikian juga hadis dari Aisyah, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ada dua tetangga saya, kepada yang manakah saya berikan hadiah?” Jawab Nabi SAW, ‘Kepada tetangga yang paling dekat pintu rumahnya dengan pitu rumah mu’. HR. imam Ahmad dan imam Bukhari.
Dalam shahifah dari Piagam Madinah, ditegaskan, ‘wa inna al jaara kannafs ghaira mudharrin wa la itsm’/ sesungguhnya tetangga itu seperti diri sendiri, tidak boleh dimudharatkan dan diperlakukan secara jahat.
Mereka yang bertetangga harus saling menghormati, tidak boleh saling menyusahkan dan tidak boleh saling melakukan perbuatan jahat, apalagi sampai melukai saudaranya secara fisik. Setiap keluarga/rumah tangga harus memperlakukan tetangganya seperti ia memperlakukan terhadap dirinya. Setiap keluarga ikut merasakan apa yang dialami tetangganya dan ikut meringankan beban kesulitan yang mereka hadapi, sebagaimana firman Allah, “ wayuktsiruna ‘ala amfusihim walau kana bihim khashashah ”/dan mereka mengtamakan orang-orang Muhajir atas diri mereka sendiri sekalipun mereka sebenarnya memerlukan apa yang mereka berikan. Subhanallah! Dari sebab perlakuan itu akan melahirkan keharmonisan hubungan dan pergaulan dalam hidup bertetangga yang menjadikan hidup dalam kesetiakawanan sejati dan pada gilirannya menjadi sendi bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam negara.
Mata rantai norma dan pilar etika yang menjadi tiang pancang hidup dalam kesetiakawanan sosial dalam Islam sangat jelas dan sebenarnya tidak membebani kehidupan individu, kecuali bagi mereka-mereka (umat) yang berhati iri, dengki, kedekut, merasa memiliki 4 paling (paling pintar, paling hebat, paling terhormat, paling bersih) dan penyakit-penyakit hati lainnya.
Liberalisme dan Kapitalisme telah meracuni manusia moderen yang tidak lagi berorientasi pada dunia nilai, etika dan agama. Mereka merasa bebas dan tidak perlu terikat oleh norma-norma agama, dan etika. Bagi mereka dunia ini seperti medan pergulatan hidup. Maka konsekwensinya adalah saling berebut. Siapa yang paling kuat, paling banyak uang, maka merekalah yang menang dan dianggap sukses atau survival of the fittest. Namun akibat dari semua itu, kehidupan manusia tidak lagi menunjukkan adanya rasa kebersamaan dan rasa kesetiakawanan sosial, Yang tumbuh dari pergumulan itu adalah terciptanya rasa iri, dengki yang melahirkan dendam kepada mereka yang dianggap berhasil.
Apa yang kita lihat dalam kesaharian kehidupan berbangsa dan beragama di negara ini yang bisa kita saksikan melalui media, baik melalui internet, TV dan media cetak, tidak lain adalah cerminan dari pupusnya rasa kesetikawanan dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama tidak lagi menuujukkan nilai-nilai dalam keberagamaan yang dianutnya.
Hari Kesetiakawanan Nasional yang kita peringati bulan ini yang pada Senin kemarin dibuka oleh presiden, seharusnya bukan lagi hanya sekadar memperingati yang sifatnya seremonial belaka, tetapi ia wajib diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Hidup dalam kesetiakawanan dalam Islam bukan sekedar ide, tapi ia nyata, dan wajib dilaksanakan oleh setiap individu muslim. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar